Membelah Selat Boleng, Menantang Arus ‘Watowoko’
Dengan menumpang perahu ‘ketinting’ perjalanan menuju Desa Boleng, sungguh menaikkan adrenalin.
TULISAN ini sebenarnya hanya sebuah refleksi dari perjalanan saya ke Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Senin (9/12/2013) lalu. Tepatnya hari Minggu siang sekitar pukul 13.30 wita, saya ditelepon oleh salah satu Redaktur FBC, Benyamin Tukan, yang mengabarkan tentang kematian sahabat Bernardus Kopong Gana (BKG), reporter FBC yang bermukim di Desa Wato Ona, Adonara.
Bung Ben, begitu Bung Benyamin Tukan akrab disapa, kala itu meminta saya untuk mewakili semua kru media floresbangkit.com melayat jenazah almarhum BKG. Permintaan itu segera saya sanggupi, dan berjanji untuk ke Adonara pada keesokan harinya, karena pelayaran Lewoleba-Adonara pada jam itu tidak ada.
Namun demikian, saya baru menyadari jika kapal penumpang untuk rute Senin pagi, jadwal keberangkatannya dari Pelabuhan Larantuka menuju Waiwerang Pulau Adonara dan berlanjut ke Lembata.
Lansekap Desa Boleng dari lautan. Foto: FBC/Yogi Making
Pelayaran pagi dari Pelabuhan Lewoleba dilayani oleh dua kapal cepat, yakni KM Ina Maria dan KM Fantasi. Itu pun dua kapal cepat ini tidak menyinggahi Pelabuhan Waiwerang. Dua kapal ini, hanya melayani pelayaran Larantuka-Lewoleba.
Tak Pupus
Kondisi sulit ini tidak membuat tekad saya untuk melayat jenazah sobat tercinta, Almarhum Bernardus Kopong Gana, pupus. Saya terus berusaha untuk bisa mendapatkan pelarayan ke Adonara.
Tak kehilangan akal, bersama seorang sahabat, kami lalu menuju Desa Waijarang, Kecamatan Nubatukan. Menurut informasi, dari Waijarang biasanya selalu ada perahu nelayan yang bisa disewakan menuju Desa Boleng, Kecamatan Ile Boleng, Adonara, Kabupaten Flores Timur.
Sekitar 20 menit lama perjalanan menuju Kampung Waijarang. Dan ternyata benar, di sana sudah ada nelayan yang sedang menunggu. Begitu tiba di pantai, kami langsung ditawari menumpang perahu bermesin ketinting ke Pantai Boleng, dengan ongkos angkut sebesar Rp. 150 ribu.
“Bisa muat dengan sepeda motor, biasanya orang bayar kami dengan Rp. 150 ribu, kalau mau kita jalan sekarang,” kata Syukur, lelaki yang saya taksir berumur sekitar 25 tahun itu.
Setelah sepakat dengan harga yang ditawarkan, sepeda motor kami langsung diusung ke dalam perahu mereka. Sepeda motor diletakkan paling tengah dari perahu dengan panjang kurang lebih 3 meter itu. Setelah memastikan posisi sepeda motor aman, kami lalu disuruh untuk naik ke perahu dan siap berlayar.
Mesin ketinting bermerk Donfeng lalu dihidupkan. Syukur tak lupa mengajak serta seorang sahabatnya, dengan maksud saat tiba di pantai tujuan, mereka bisa saling membantu menurunkan sepeda motor yang kami bawa.
Sebenarnya, pelayaran ini menjadi pelayaran perdana saya ke Adonara dengan menumpang perahu kecil seukuran perahu nelayan. Sungguh, pelayaran ini memacu adrenalin saya. Betapa tidak? Selat Boleng yang akan kami lewati, terkenal dengan arus yang kencang. Untuk kapal-kapal berukuran besar saja, terkadang sulit melewati selat yang terkenal dengan arus Watowokonya itu. Namun demikian, dua nelayan ini meyakinkan kami, kalau perjalanan kami akan aman.
Dengan perahu 'ketinting' membelah Selat Boleng. Foto: FBC/Yogi Making
“Aman bang, kami sudah biasa melintas, jadi kami bisa hitung arus. Kadang arus kencang saja kami pergi dan pulang aman-aman saja. Cuma setengah jam sudah sampai di Boleng,” ujar Syukur sang juru mudi.
Saat naik, kami berdua memang sengaja memilih tempat paling belakang. Selain luas, kami bisa lebih leluasa berceritera sepanjang perjalanan. Yah..setidaknya itulah aktivitas yang bisa kami lakukan di atas perahu super kecil untuk ukuran laut dengan arus yang kencang itu.
Syukur kepada kami menuturkan, perjalanan antar pulau untuk menjemput dan menghantar penumpang, sudah menjadi rutinas semua nelayan di Waijarang, terutama yang memiliki perahu bermotor. Jika lagi beruntung, penghasilan dari kerja sampingan itu bisa mencapai Rp. 300 ribu per hari.
Desa Indah
Tak terasa perjalanan kami semakin menjauh, Kampung Waijarang terlihat samar-samar. Saya sadar betul, jika kami sudah memasuki daerah dengan arus kencang, namun Syukur sang nelayan dan sahabatnya itu tampak santai. Goncangan perahu karena arus sudah dianggap biasa.
Jantung saya terasa berdebar semakin kencang. Dalam hati, saya hanya berdoa semoga kami aman dalam pelayaran, dan tiba dengan selamat ke tempat tujuan untuk bertemu jenazah sobat BKG.
Menit-demi menit kami lewati, walau diyakinkan akan aman dalam perjalanan, namun rasa was-was terus saja menghantui pikiran saya. Karena segala kemungkinan buruk, bisa terjadi kapan saja. Sehebat apapun, kita tentu tak mampu melawan kekuatan alam.
Waktu terus saja berputar, tak terasa kami sudah tiba di Pantai Boleng, pantai yang berhiaskan bebatuan hitam dan hanya sedikit pantainya yang berpasir, tempat kami melabuhkan perahu.
Desa Boleng, yang terkesan gersang ternyata sangat indah jika dipandang dari laut. rumah-rumah terusun rapi mengikuti arah kemiringan bukit. Setidaknya, sedikit keindahan Desa Boleng itu, bisa menghilangkan rasa was-was saya.
Dan ketika haluan perahu milik nelayan Syukur menyentuh pasir, dan kaki menginjak dasar laut, spontan saya berucap, “Tuhan, terima kasih. Engkau sudah menyelamatkan kami dalam perjalanan, dan mengizinkan kami melihat jenazah sobat BKG”. (*)
Penulis: Yogi Making
Editor: E. Pudjiachirusanto
Related Posts:
Kapal Motor Elhasar II Tenggelam Di Pelabuhan Lewoleba
Pelayaran Lembata ke Flores Timur Dihentikan Sementara
2 Nelayan Waijarang Menghilang Saat Melaut
Pantai Palo Larantuka, Alternatif Penyeberangan ke Pulau…
Berlayar dengan Feri, Pilihan Paling Tepat
- See more at: http://www.floresbangkit.com/2013/12/membelah-selat-boleng-menantang-arus-watowoko/#sthash.eKj6hAuj.dpuf
No comments:
Post a Comment